Selasa, 13 Agustus 2013

HAK WARIS ANAK LAKI-LAKI DAN ANAK PEREMPUAN

HAK WARIS ANAK LAKI-LAKI DAN ANAK PEREMPUAN DALAM YURISPRUDENSI



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

   Sistem waris merupakan salah satu cara adanya perpindahan kepemilikan, yaitu berpindahnya harta benda dan hak – hak material dari pihak yang mewariskan, setelah yang bersangkutan wafat kepada para penerima warisan. Terjadinya proses pewarisan ini, tentu setelah memenuhi hak – hak terkait dengan harta peninggalan si pewaris. Proses pewarisan ini dapat diatur dengan adanya hukum waris.
  Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia, dengan perkataan lain mengatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia beserta akibat-akibatnya bagi ahli waris. Pada asasnya yang dapat diwariskan hanyalah hak-hak dan kewajiban dibidang hukum kekayaan saja, terkecuali hak-hak dan kewajiban dibidang hukum yang tidak dapat diwariskan.
   Hukum waris di Indonesia masih bersifat majemuk, hal itu terjadi karena di Indonesia belum mempunyai Undang – Undang Hukum Waris Nasional yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehubungan dengan belum adanya Undang – Undang tersebut, di Indonesia masih berlaku 3 (tiga) system hukum kewarisan yakni hukum kewarisan Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Islam dan adat.
   Dalam hukum adatnya, dikenal tiga system kewarisan, yaitu kolektif, mayorat dan individual. Dalam system waris kolektif, ahli waris bersama – sama mewarisi harta peninggalan. Dalam system waris mayorat, anak tertua menurutjenisnya menguasai harta peninggalandengan hak dan kewajiban mengatur dan mengurus kepentingan adik – adiknya atas dasar musyawarah dan mufakat dari para anggota kelompok waris. Dalam system waris mayorat ahli waris terbagi menjadi dua, yang pertama mayorat pria atau laki – laki tertua / sulung pada saat pewaris meninggal merupakan ahli waris utama, kedua yaitu mayorat wanita adalah anak perempuan tertua pada waktu pemilik harta warisan meninggal adalah menjadi ahli waris utama. Dalam system waris individual, ahli waris secara perorangan mewarisi harta peninggalan. System waris individual cenderung ditemukan pada masyarakat parental, dimana terdapat hak dan kewajiban yang sama pada anak perempuan dan anak laki – laki terhadap harta peninggalan. Hak waris yang sama tersebut mengandung pengertian hak untuk diperlukan sama oleh orang tuanya dalam proses meneruskan hata benda keluarga.
   Mengingat perkembangan masyarakat Indonesia dalam perkembangannya menuju ke arah persamaan kedudukan anatara perempuan dan laki – laki serta pengakuan anak perempuan sebagai ahli waris, maka diperlukan hukum yang bersifat parental agar me\mberikan kedudukan sederajat antara perempuan dan laki – laki.

B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, rumusan masalah yang menjadi dasar pembahasan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pembagian  hak waris laki – laki dan perempuan dalam system KUH Perdata, system             hukum adat dan sistem hukum Islam yang berlaku di Indonesia ?
2. Bagaimanakah perkembangan hak waris laki – laki dan perempuan dalam yurisprudensi yang berlaku di         Indonesia ?

C.     TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana pembagian hak waris laki – laki dan perempuan dalam system KUH                 Perdata, system hukum adat dan sistem hukum Islam yang berlaku di Indonesia.
2. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan hak waris laki – laki dan perempuan dalam yurisprudensi           yang berlaku di Indonesia.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    HUKUM WARIS DALAM SISTEM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

   Penempatan hukum waris dalam KUHPerdata terdapat pada Pasal 528 dan Pasal 584 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Didalamnya subjek hukum waris terbagi 2 (dua) yaitu : Perwaris, adalah orang yang meninggalkan harta dan diduga meninggal dengan meninggalkan harta. Ahli waris, yakni mereka yang sudah lahir pada saat warisan terbuka, hal ini berdasarkan Pasal 836 KUHPerdata.
  Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Dalam hukum waris berlaku juga suatu asas, bahwa apabila seorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya. Asas tersebut tercantum dalam suatu pepatah Prancis yang berbunyi : “le mort saisit le vif” sedangkan pengoperan segala hak dan kewajiban dari si meninggal oleh para ahli waris dinamakan “saisine”.

B.     HUKUM WARIS DALAM SISTEM HUKUM ADAT

   Menurut Bertrand Ter Haar, Hukum waris adat adalah proses penerusan dan peralihan kekayaan materil dan immaterial dari turunan ke turunan.
   Menurut Soepomo, Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya.
   Proses pewarisan menurut hukum waris adat, dikala pewaris masih hidup dapat berjalan dengan cara penerusan atau pengalihan, penunjukan atau dengan cara berpesan, berwasiat, beramanat. Ketika pewaris telah wafat berlaku penguasaan yang dilakukan oleh anak tertentu, oleh anggota keluarga atau kepala kerabat, sedangkan cara pembagian dapat berlaku pembagian ditangguhkan. Hukum waris adat tidak mengenal cara pembagian dengan perhitungan matematika, tetapi didasarkan atas pertimbangan mengingat wujud benda dan kebutuhan waris bersangkutan.

C.     HUKUM WARIS DALAM SISTEM HUKUM ISLAM

   Hukum waris Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.
   Didalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 (a) menyatakan bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.



BAB III
HAK WARIS ANAK LAKI-LAKI DAN ANAK PEREMPUAN

A.  HAK WARIS ANAK LAKI-LAKI DAN ANAK PEREMPUAN MENURUT BW

   Besaran bagian para ahli waris berdasarkan KUHPerdata, dalam hal ini mengenai besaran ahli waris laki-laki dengan ahli waris perempuan, memiliki bagian sama antara anak laki-aki dengan anak perempuan sesuai dengan ketentuan Pasal 852 ayat (1) KUHPerdata yang menjelaskan sebagai berikut:
“Anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan dari lain-lain perkawinan sekali pun, mewaris dari kedua orang tua, kakek, nenek, atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, dengan tiada perbedaan antara laki atau perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran lebih dulu.”
   Hukum waris Barat (KUHPerdata) mengenal prinsip legitime portie (bagian mutlak) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 913 KUHPerdata yang menentukan bahwa:
“Legitime portie adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada para waris dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap bagian mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat.”
   Prinsip legitime portie menentukan bahwa ahli waris memiliki bagian mutlak dari peninggalan yang tidak dapat dikurangi sekalipun melalui surat wasiat si pewaris.
     
B.  HAK WARIS ANAK LAKI-LAKI DAN ANAK PEREMPUAN MENURUT SISTEM HUKUM           ADAT

Berdasarkan sistem patrilineal,matrilineal dan parental.

1. Sistem Patrilineal/Kebapakan
Sistem patrilineal merupakan sistem keturunan yang ditarik dari garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita didalam pewarisan.
Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki sebab anak perempuan yang telah kawin masuk menjadi anggota keluarga suami Patrilineal terdapat di daerah adat orang Batak, Bali dan Ambon.
CIRI-CIRI:
a.Kesatuan kemasyarakatan yang organisasinya didasarkan atas ketunggalan silsilah pancar laki-laki                (kebapakan).
b. Anggota dan penerus silsilah adalah anak laki-laki
c. Anak perempuan akan pergi meningalkan marganya
d. Kehidupan masyarakatnya ditopang oleh harta pusaka
e. Pada awalnya tidak ada harta pencarian atau harta bersama, baru kemudian berkembang harta pencarian       yang menjadi embrio harta bersama
f. Harta tersebut kepemilikannya individual dan terlepas dari harta pusaka, dan akhirnya dapat diwaris oleh      anak perempuan

Putusan MA No.179/K/Sip/1961
Anak perempuan dan laki-laki dari seorang peninggal warisan bersama-sama berhak terhadap harta warisan, dengan arti bagian laki-laki dan perempuan adalah sama.

2. Sistem Matrilineal/Keibuan
Sistem Matrilineal adalah sistem kekerabatan yang berdasarkan pertalian keturunan melalui keibuan yang menarikgaris keturunannya dari pihak ibu terus ke atas. Matrilineal terdapat di daerah adat orang Minangkabau, orang Kerinci dan Semendo.
Yang menjadi ahli waris adalah anak-anak dari garis perempuan/ibu karena mereka merupakan bagian dari keluarga ibunya sedangkan ayahnya masih merupakan anggota keluarga sendiri.
CIRI-CIRI:
a. Kesatuan kemasyarakatan yang organisasinya didasarkan atas ketungalan silsilah pancar perempuan             (Buah Paruik à buah perut) à Clan chaniago dan piliang (minangkabau)
b. Anak-anak perempuan sebagai penerus silsilah kaum ibunya
c. Kehidupannya berada dalam sebuah rumah gadang (besar) dengan sistem bilik), dan ditopang oleh harta       kaum
d. Kemudian berkembang menjadi masayakat minang yang hidup di minang dan di luar minang, dan yang          diminang ada yang masih terikat pada rumah gadang dan sudah ada yang hidup dalam rumah-rumah               tinggal.
e. Kemudian berkembang harta pencarian (“Suarang”) àmenjadi dasar terbentuknya harta bersama. Anak-       anak semula tidak mewaris dari bapak kemudian mewaris dari harta suarang bapaknya.

3. Sistem Parental/Kebapak-Ibuan
Sistem Parental adalah sistem kekerabatan yang berdasarkan pertalian keturunan melalui ayah dan ibu yang menarik garis keturunanya melalui pihak ayah dan ibu ke atas. Terdapat di daeah adat Aceh, Jawa, Dayak dan Kaili.
Yang menjadi ahli waris adalah anak laki dan perempuan dengan kedudukan yangg sama dan sejajar.
CIRI-CIRI:
a. Kesatuan kemasyarakatan yang organisasinya didasarkan atas ketunggalan silsilah bapak dan ibu.
b. Seorang individu selalu memiliki 2 silsilah, dari bapaknya dan dari ibunya.
c. Anak-anak selalu menjadi penerus silsilah bapak dan ibunya
d. Suami dan istri berkedudukan seimbang, sehingga masing-masing memiliki kecakapan bertindak dan             memiliki hak kepemilikan
e. Anak-anak selalu menjadi ahli waris terhadap harta peninggalan bapak dan ibunya.

Pemerintah mengarahkan pada sistem waris Parental dengan mengeluarkan:
1. Tap MPRS II Tahun 1960 Paragrah 402 C sub 4
    Semua warisan untuk anak-anak dan janda, apabila yang meninggal meninggalkan anak dan isteri.
2. Seminar-seminar Nasional Hukum Adat
    a. Seminar Nasional Tahun 1963
       Hakim membimbing hukum tidak tertulis melalui yurisprudensi kea rah keseragaman hukum yang seluas-         luasnya dan dalam bidang hukunm keluarga kea rah system parental
    b. Seminar Hukum Adat Tahun 1975
        Hendaklah hukum adat kekeluargaan dan warisan lebih dikembangkan kea rah hukum yang                           bilateral/parental yang memberi kedudukan yang sederajat.
3. UU Perkara_Pasal 31
    Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam berkeluarga dan             bermasyarakat. Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.
4. Putusan MA atau Yurisprudensi
    Hak anak laki-laki sama dengan hak anak perempuan.
    MA melihat rasa kemanusiaan dan keadilan umum.

   Pada umumnya di Indonesia apabila pewaris wafat meninggalkan istri dan anak-anak, maka harta warisan, terutama harta bersama suami istri yang didapat sebagai harta pencaharian selama perkawinan dapat dikuasai oleh janda almarhum pewaris untuk kepentingan berkelanjutan hidup anak-anak dan      janda   yang    ditinggalkan.
  Pada intinya, dalam sistem patrilineal, matrilineal, dan parental hampir sama, yaitu janda bisa menjadi penguasa harta warisan suaminya yang telah wafat. Disini janda memang bukan merupakan ahli waris, karna sudah ada pembagian yang sudah diatur dalam sistem tersebut. Janda hanya memiliki hak untuk menguasai dan menikmati harta warisan selama hidupnya. Akan tetapi, apabila janda tersebut sudah tua dan anak-anaknya sudah dewasa dan sudah berumah tangga, maka harta tersebut akan dialihkan kepada anak-anaknya.
   Hukum waris adat tidak mengenal azas Legitieme Portie, maka pembagiannya adalah:
a. Dalam Sistem Patrilineal
    Istri sebagai pewaris: tidak ada ahli waris.
   Suami sebagai pewaris: ahli warisnya anak laki-laki, tetapi pada daerah tertentu yang ahli warisnya adalah      anak tertua
b. Dalam Sistem Matrilineal
    Istri sebagai pewaris: ahli warisnya anak perempuan
    Suami sebagai pewaris: ahli warisnya saudara perempuan suami
c. Dalam Sistem Parental
    Istri sebagai pewaris: ahli warisnya anak laki-laki dan anak perempuan
    Suami sebagai pewaris: ahli warisnya anak laki-laki dan anak perempuan

Pengkhususan
   Untuk daerah Gresik, Madura, Tuban apabila yang menjadi pewaris istri atau suami, maka ahli warisnya anak laki-laki : anak      perempuan =   2:1
    Untuk daerah Sidoarjo dan Malang, ahli warisnya anak laki-laki : anak perempuan =  1:1                        
    Untuk daerah Jawa apabila yang menjadi pewaris suami, maka yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, dan apabila yang menjadi ahli waris istri, maka yang menjadi ahli waris adalah anak perempuan.


C. HAK WARIS ANAK LAKI-LAKI DAN ANAK PEREMPUAN MENURUT SISTEM HUKUM            ISLAM

   Dalam surat An-Nisa’ ayat 11-12 disebutkan mengenai Hukum Waris Islam antara lain sebagai  suatu hukum yang mengatur pembagian harta peninggalan seseorang yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis.
   “Allah mensyari’atkan bagimu tentang [pembagian pusaka untuk] anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya [saja], maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. [Pembagian-pembagian tersebut di atas] sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau [dan] sesudah dibayar hutangnya. [Tentang] orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat [banyak] manfa’atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan bagimu [suami-suami] seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau [dan] sesudah dibayar hutangnya. 
   Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau dan sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki seibu saja atau seorang saudara perempuan seibu saja maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat kepada ahli waris . Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”.
   Dalam hukum waris Islam, pada prinsipnya pembagian terhadap anak laki-laki lebih besar dari anak perempuan. Hal ini berdasarkan ketentuan dalam Pasal 176 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan sebagai berikut : “Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.”
    Namun demikian, sesuai dengan Pasal 201 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa:
“Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan, sedangkan ahli waris lainnya ada yang tidak menyetujuinya, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga harta warisan.”

   Terhadap setiap pemberian atau penghibahan yang mengakibatkan berkurangnya bagian mutlak dalam pewarisan, dapat dilakukan pengurangan hanya berdasarkan tuntutan dari ahli waris ataupun pengganti mereka.

D. HAK WARIS ANAK LAKI-LAKI DAN ANAK PEREMPUAN MENURUT YURISPRUDENSI          DAN PERKEMBANGANNYA

1. Yurisprudensi  Yang  Menunjukkan Anak Laki-Laki Mendapatkan Bagian Waris Lebih Besar Dari Anak Perempuan.

Terdapat beberapa yurisprudensi yang mengabulkan atau menyetujui bahwa dalam keadaan atau kondisis masyarakat tertentu dapat dibedakan kedudukan antara anak laki-laki dan anak perempuan, diantaranya :

a. Putusan Mahkamah Agung No. 24 K/Sip/1953 tanggal 14 April 1956
    Hukum Adat daerah Praya, Lombok
    Pembagian warisan antara janda, anak laki-laki dan anak perempuan
    Menurut Hukum Adat Sasak di Lombok, dalam hal seorang meninggal dengan meninggalkan seorang           janda, tiga anak laki-laki dan enam anak perempuan;
    Janda tersebut berhak atas sepertiga bagian dari barang gono-gini ditambah seperdelapan dari sisanya.         Sisanya dibagi antara anak-anak dengan imbangan anak laki-laki mendapat dua kali anak perempuan.

b. Putusan Mahkamah Agung No. 200 K/Sip/1958 tanggal 3 Desember 1958.
    Hukum Adat di daerah Negara
    Menurut hukum adat Bali, yang berhak mewarisi hanyalah keturunan pria dari pihak keluarga pria dan           anak angkat lelaki.
    Duduk perkara:
    I Gendra cs. Menggugat Pan Gari cs. Dimuka Pengadilan Kerta di Negara pada pokoknya ats dalil,             bahwa sawah sengketa adalah asal pusaka mendiang Pan Sarning, yang ditandukan kepada para tergugat,     akan tetapi setelah San Parning meninggal dunia, sawah itu dipertahankan oleh para tergugat, maka oleh         karena demikian para penggugat menuntut supaya para tergugat dihukum untuk mengembalikan sawah           tersebut kepada para penggugat.
    Pengadilan Kerta di Negara dengan putusannya tanggal 28 Juni 1951 No. 8/Sipil/1951 mengabulkan             gugatan penggugat I Gendra cs. dan menghukum tergugat Pan Gari cs. untuk menyerahkan kepada               penggugat satu sikut sawah yang menjadi sengketa beserta separo hasil sawah itu dalam tahun 1951.
    Putusan tersebut dalam tingkat banding wajib, dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Makassar                             (Ujungpandang) tanggal 30 Desember 1957 No. 19/1953 P.S./Pdt.

c. Jawaban penggugat kasasi pada waktu mereka diperiksa dimuka siding Pengadilan Kerta bahwa mereka       menandu sawah adalah keliru. Sebenarnya, mereka mempertahankan sawah itu, karena mereka merasa         berhak mewarisi sawah tersebut karena datuk mereka Men Sardji dan Men Mukti bersaudara kandung         kepada mendiang Paan Sarning. Pan Sarning yang meninggal tanpa memiliki anak kandung tetapi                   mempunyai keponakan dari saudaranya yakni Men Sardji dan Men Mukti maka mereka sama-sama             berhak menerima barang-barang warisan mendiang Pan Sarning. Dengan kata lain, barang-barang warisan     Pan Sarning harus dibagi dua antara mereka dan I Gendra cs.

d. Menurut hukum adat Bali pun, kalau orang yang meninggal (ceput) tidak mempunyai ahliwaris dari                 keturunan lelaki, barang warisannya harus diwarisi oleh anak perempuannya yang paling rapat, sehingga         tanah-tanah warisan mendiang Pan Sarning separonya atau setidak-tidaknya sawah cidra ditetapkan             menjadi milik para penggugat untuk kasasi merupakan hal yang tepat.
    Keberatan-keberatan tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung, dengan pertimbangan-pertimbangan:
    Mengenai keberatan sub.a:
    Bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan oleh karena baru dalam tingkat kasasi, para penggugat untuk     kasasi mengajukan keberatan ini dengan mandalilkan, bahwa mereka berhak untuk mewarisi sawah               sengketa, jadi keberatan itu merupakan suatu persoalan yang baru (novum), hal mana tidak dapat                 dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi;
    Mengenai keberatan sub.b:
    Bahwa keberatan ini pula tidak dapat dibenarkan, oleh karena menurut hukum adat Bali yang berhak             mewarisi sebagai ahliwaris ialah hanya keturunan pria dari pihak keluarga dan anak angkat lelaki, sehingga     Men Sardji sebagai saudara kandung perempuan bukan ahliwaris dari mendiang Pan Sarning.
    Perkembangan hak waris anak laki-laki dan anak perempuan menurut hukum Adat Bali
    Menurut I Ketut Sudantra, dosen Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, dalam artikel     berjudul Pembaharuan Hukum Adat Bali Mengenai Pewarisan Angin Segar Bagi Perempuan, hukum adat     Bali yang bersistem kekeluargaan kapurusa (patrilineal) menempatkan anak laki-laki sebagai ahli waris           dalam keluarga, sementara perempuan hanya mempunyai hak untuk menikmati harta peninggalan orang         tua atau harta peninggalan suami.
    Hal di atas juga tercermin dalam putusan Mahkamah Agung No. 200 K/Sip/1958 tanggal 3 Desember         1958, yang antara lain menyatakan:
   “Menurut hukum Adat Bali yang berhak mewaris hanyalah keturunan pria dan pihak keluarga pria dan           anak angkat lelaki; Maka Men Sardji sebagai saudara perempuan bukanlah akhli waris dan mendiang Pan     Sarning.” 

2. Yurisprudensi Yang Menunjukkan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mendapatkam Bagian Waris Yang Sama

a. Putusan MA RI no.179 K/SIP/1961 tanggal 23 Oktober 1961
    Menyatakan persamaan hak anak laki-laki dan anak perempuan yang mengakibatkan perubahan dalam         hukum waris adat Batak Karo. Yang pada mulanya masyarakat adat tersebut memang membedakan             kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan yakni, dengan mengutamakan anak laki-laki sebagai ahli         waris.
    Terkhusus pada yurisprudensi ini telah mendapat banyak sorotan karena menimbulkan pro dan kontra di       kalangan masyarakat adat Batak Karo itu sendiri, terlebih oleh kaum laki-laki yang merasa telah dilanggar      haknya.
    Ini menunjukkan adanya perkembangan dalam kondisi masyarakat yang terkadang dapat mengakibatkan       terjadinya perubahan dalam kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat, yakni hukum adat. Karena         sejatinya putusan atau yurisprudensi tersebut memiliki kekuatan hukum yang mau tidak mau harus diterima     oleh masyarakatnya, meski hukum nasional juga memberikan  kelonggaran atau suatu ruang bagi                    masyarakat adat itu sendiri untuk berkembang sesuai dengan dinamika sosial yang ada.

b. Putusan Mahkamah Agung No. 179/Sip/1961 tanggal 1 November 1961.
   Anak perempuan dan anak lelaki dari seorang peninggal warisan bersama berhak atas harta warisan dalam    arti, bahwa bagian anak lelaki adalah sama dengan anak perempuan.
   Duduk perkara:
   Langtewas Sitepu dan Ngadu Sitepu menggugat Benih Ginting, anak kandung dari mendiang Rumbane          boru Sitepu di muka Pengadilan Negeri Kabanjahe pada pokoknya atas dalil, bahwa tanah sengketa            bernama “Juma Pasar” adalah tanah pusaka berasal dari Rolak Sitepu; bahwa oleh karena Rolak Sitepu        tidak memiliki anak lelaki dan setelah Rolak Sitepu meninggal dunia, maka menurut hukum adat Karo,          tanah itu harus diwarisi oleh para penggugat sebagai anak-anak lelaki dari saudara kandung almarhum            Rolak Sitepu; bahwa menurut putusan Balai Kerapatan (Raja Berempat) Kabanjahe tanggal 1 Maret 1929    No.69 anak-anak perempuan dari almarhum Rolak Sitepu tersebut hanya ada hak untuk memakai tanah        itu selama mereka hidup; bahwa setelah Rumbane yakni salah satu anak perempuan dari Rolak Sitepu          meninggal dunia lalu tanah itu dikuasai oleh tergugat yakni anak lelaki dari almarhum Rumbane tersebut;          bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut para penggugat menuntut supaya Pengadilan Negeri Kabanjahe    member putusan:
1. Mengakui di dalam hukum, bahwa lading perkara berasal dari pusaka mendiang Rolak Sitepu yang               menurut adat Indonesia Karo diwarisi oleh para penggugat, sebab mendiang Rolak Sitepu adalah saudara      kandung dari Tindik Sitepu (ayah kandung para penggugat), karena Rolak Sitepu telah mati masap (tidak      ada keturunan anak laki-laki) selain dari kedua penggugat;
2. Menentukan di dalam hukum untuk menyudahi/memutuskan pemakaian tergugat atas lading sengketa dan       menyerahkannya kepada para penggugat.
    Pengadilan Negeri Kabanjahe dalam putusannya tanggal 8 September 1958 No. 3/S/1957 mengabulkan       gugatan dan menghukum tergugat untuk menyerahkan lading “Jumpa Pasar” kepada para penggugat.
    Pengadilan Tinggi Medan, dalam tingkat banding, dengan putusannya tanggal 29 Desember 1959 No.           204/1959 membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan dalam mengadili kembali menolak gugatan para         penggugat.
    Keberatan-keberatan yang diajukan dalam tingkat kasasi adalah pada pokoknya:
    “bahwa menurut hukum adat Karo anak perempuan (dimaksudkan Rumbane, yaitu ibu tergugat) adalah         bukan ahli waris dari ayahnya, dan bahwa para penggugat kasasi menurut hukum adat Karo adalah               ahliwaris dari Rolak Sitepu dan berhak atas tanah sengketa setelah Rolak Sitepu meninggal dunia.”
    Keberatan-keberatan tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan       sebagai berikut:
    “bahwa keberatan-keberatan tersebut berdasarkan atas anggapan bahwa di tanah Karo masih tetap             berlaku hukum yang hidup, bahwa seorang anak perempuan tidak berhak sama sekali atas barang warisan     yang ditinggalkan oleh orang tuanya”;
   bahwa Mahkamah Agung berdasar selain atas rasa perikemanusiaan dan keadilan umum juga atas hakekat    persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa putusan mengambil sikap dan menganggap sebagai    hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak lelaki dari seorang peninggal          warisan, bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti, bahwa bagian anak lelaki adalah sama              dengan anak perempuan;
   bahwa berhubung dengan sikap yang tetap dari Mahkamah Agung ini, maka juga di tanah Karo seorang        anak perempuan harus dianggap sebagai ahliwaris yang berhak menerima bagian atas harta warisan dari        orang tuanya;
  bahwa oleh karena demikian, keberatan-keberatan para penggugat untuk kasasi tidak dapat dibenarkan       dan putusan Pengadilan Tinggi Medan, meskipun berdasarkan alasan-alasan lain, harus dipertahankan.”
  Putusan Mahkamah Agung ini mendapat sambutan hangat dari kaum wanita Tapanuli dan dapat dianggap     sebagai suatu tonggak bersejarah dalam proses pencapaian persamaan hak antara kaum wanita dan kaum     pria. Dengan putusan ini Mahkamah Agung telah membentuk hukum yurisprudensi baru dalam soal warisan   di Tapanuli.

c. Putusan Mahkamah Agung No. 415 K/Sip/1970 tanggal 30 Juni 1971.
   Hukum adat di daerah Padangsidempuan
   Kedudukan anak (laki-laki dan perempuan) terhadap warisan orang tua
   Di daerah Tapanuli “pemberian dan penyerahan” kepada seorang anak perempuan merupakan “serah-          lepas” dengan maksud memperlunak hukum adat setempat di masa sebelum Perang Dunia II yang tidak        mengakui hak mewaris bagi anak perempuan.
   Hukum Adat di daerah Tapanuli kini telah berkembang ke arah pemberian hak yang sama kepada anak         perempuan dan anak laki-laki.
d. Putusan MA RI No.2563 K/Pdt/1988 tanggal 15 Maret 1990
    Menyatakan bahwa hak waris anak dari istri pertama atas harta bagian bapaknya yang diperoleh dalam         perkawinannya yang ketiga. Anak dari istri pertama berhak mewarisi harta bagian bapaknya yang                diperoleh dalam perkawinannya yang ketiga bersama-sama dengan anak dari istri ketiga yaitu masing-           masing mendapat separoh dari separoh karena anak almarhum hanya dua orang, yaitu penggugat dan             tergugat.
   Meski keputusan tersebut tidak terkait dengan kedudukan anak laki-laki dan perempuan sebagai ahli            waris, melainkan lebih menjelaskan kedudukan anak sebagai anak kandung dari orangtuanya yakni                pewaris. Yang menunjukkan bahwa terlepas dari apaka ahli waris yakni anaknya tersebut apakah leki-laki    maupan perempuan, dalam yurisprudensi tersebut telah menguatkan kembali posisi penggugat sebagai anak    kandung dari pewaris baik laki-laki maupun perempuan, namun jika dihadapkan pada kondisi yang sama      dengan yang ada pada saat tersebut, maka kedudukan anak laki-laki dan perempuan adalah sama.                Sehingga putusan tersebut dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam menghadapi kasus yang sama.
e. Putusan MA No.410 K/Pdt/1995 tanggal 26 Agustus 1996
‘   Warisan yang berasal dari harta gono-gini haruslah dibagi secara adil kepada semua ahli warisnya’
    Putusan tersebut juga dapat mengakibatkan samanya kedudukan anak laki-laki maupun perempuan dalam     haknya atas harta gono-gini orangtuanya sebagai pewaris.
f. Putusan MA no.30 K/Pdt/1995 tanggal 9 Februari 1998
  Amar putusan Pengadilan Tinggi Bandung yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Karawang kurang    lengkap/tepat sehingga memerlukan pertimbangan , yaitu pada amar putusan Pengadilan Tinggi Bandung        poin 5 ; bahwa bagian masing-masing ahli waris laki-laki dan perempuan ditentukan sama disesuaikan            dengan tingkat keahliwarisan masing-masing dari almarhum Mungkur bin Jamilin.
g. Putusan Mahkamah Agung  No. 410 K/Pdt/1995 tanggal 26 Agustus 1996 .
   Warisan yang berasal dari harta gono-gini haruslah dibagi secara adil kepada semua ahli warisnya.



BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN

A. Pembagian hak waris bagi anak laki-laki dan perempuan menurut KUHPerdata,Hukum Islam dan Hukum Adat memiliki sistem yang berbeda-beda.
  Berdasarkan KUHPerdata, pembagian waris menggunakan prinsip legitime portie (bagian mutlak) sebagaimana yang diatur dalam pasal 913 dimana Prinsip legitime portie menentukan bahwa ahli waris memiliki bagian mutlak dari peninggalan yang tidak dapat dikurangi sekalipun melalui surat wasiat si pewaris. Dalam hal ini, bagian mutlak bagi para ahli waris adalah tiga perempat dari harta warisan. 
   Dalam hukum waris Islam, pada prinsipnya pembagian terhadap anak laki-laki lebih besar dari anak perempuan. Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan. Namun demikian, apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan, sedangkan ahli waris lainnya ada yang tidak menyetujuinya, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga harta warisan.
    Dalam menentukan bagian-bagian tiap ahli waris, hukum waris adat mendasarkan pada kebiasaan dalam bidang kewarisan yang terjadi di masyarakat. Hal ini berarti tiap daerah memiliki cara kebiasaan yang berbeda untuk menentukan besaran bagian warisan masing-masing dari ahli waris. Sebagai contoh, pembagian besarnya warisan di daerah Sumatera Barat, hak (bagian) warisan dari anak perempuan lebih besar dari bagian warisan dari anak laki-laki, akan tetapi hal tersebut berbeda dengan kebiasaan yang terjadi di daerah Sumatera Utara, yang memberikan hak dalam warisan lebih besar kepada anak laki-laki jika dibandingkan dengan bagian anak perempuan.
           
B. Yurisprudensi yang merupakan perkembangan hukum yang ada kaitannya dengan perubahan social.             Yurisprudensi ini dapat menegaskan mengenai pembagian hak laki-laki dan perempuan sesuai adat
mereka seperti yang terjadi di Praya, Lombok dengan keluarnya Putusan Mahkamah Agung No. 24 K/Sip/1953 tanggal 14 April 1956  danPutusan Mahkamah Agung No. 200 K/Sip/1958 tanggal 3 Desember 1958 di Bali.
    Selain itu yurisprudensi juga dapat menyetarakan hak antara laki-laki dan perempuan atau setidaknya memberikan perempuan hak-hak mereka. Seperti  Putusan Mahkamah Agung tanggal 1 November 1961 No. 179 K/Sip/1961 yang berbunyi : Mahkamah Agung menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia bahwa anak perempuan dan anak laki – laki dari seorang pewaris bersama – sama berhak atas harta warisan, dalam arti bagian anak laki – laki adalah sama dengan anak perempuan.
      Dengan adanya yurisprudensi tersebut dikemudian hari, bila terjadi sengketa warisan, pihak yang merasa dirugikan, terutama pihak perempuan, dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri, dan penyelesaiannya oleh hakim dapat merujuk pada yurisprudensi ini, yaitu pembagian hak waris yang sama terhadap anak laki – laki dan perempuan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar