HAK WARIS ANAK LAKI-LAKI DAN ANAK PEREMPUAN DALAM
YURISPRUDENSI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sistem waris merupakan salah satu cara adanya perpindahan
kepemilikan, yaitu berpindahnya harta benda dan hak – hak material dari pihak
yang mewariskan, setelah yang bersangkutan wafat kepada para penerima warisan.
Terjadinya proses pewarisan ini, tentu setelah memenuhi hak – hak terkait
dengan harta peninggalan si pewaris. Proses pewarisan ini dapat diatur dengan
adanya hukum waris.
Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang
harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia,
dengan perkataan lain mengatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh
seseorang yang telah meninggal dunia beserta akibat-akibatnya bagi ahli waris.
Pada asasnya yang dapat diwariskan hanyalah hak-hak dan kewajiban dibidang
hukum kekayaan saja, terkecuali hak-hak dan kewajiban dibidang hukum yang tidak
dapat diwariskan.
Hukum waris di Indonesia masih bersifat majemuk, hal itu
terjadi karena di Indonesia belum mempunyai Undang – Undang Hukum Waris
Nasional yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehubungan dengan belum
adanya Undang – Undang tersebut, di Indonesia masih berlaku 3 (tiga) system
hukum kewarisan yakni hukum kewarisan Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Islam
dan adat.
Dalam hukum adatnya, dikenal tiga system kewarisan, yaitu kolektif,
mayorat dan individual. Dalam system waris kolektif, ahli waris bersama – sama
mewarisi harta peninggalan. Dalam system waris mayorat, anak tertua
menurutjenisnya menguasai harta peninggalandengan hak dan kewajiban mengatur
dan mengurus kepentingan adik – adiknya atas dasar musyawarah dan mufakat dari
para anggota kelompok waris. Dalam system waris mayorat ahli waris terbagi
menjadi dua, yang pertama mayorat pria atau laki – laki tertua / sulung pada
saat pewaris meninggal merupakan ahli waris utama, kedua yaitu mayorat wanita
adalah anak perempuan tertua pada waktu pemilik harta warisan meninggal adalah
menjadi ahli waris utama. Dalam system waris individual, ahli waris secara
perorangan mewarisi harta peninggalan. System waris individual cenderung ditemukan
pada masyarakat parental, dimana terdapat hak dan kewajiban yang sama pada anak
perempuan dan anak laki – laki terhadap harta peninggalan. Hak waris yang sama
tersebut mengandung pengertian hak untuk diperlukan sama oleh orang tuanya
dalam proses meneruskan hata benda keluarga.
Mengingat perkembangan masyarakat Indonesia dalam
perkembangannya menuju ke arah persamaan kedudukan anatara perempuan dan laki –
laki serta pengakuan anak perempuan sebagai ahli waris, maka diperlukan hukum
yang bersifat parental agar me\mberikan kedudukan sederajat antara perempuan
dan laki – laki.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas,
rumusan masalah yang menjadi dasar pembahasan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah
pembagian hak waris laki – laki dan perempuan dalam system KUH
Perdata, system hukum adat dan sistem hukum Islam yang berlaku di Indonesia ?
2. Bagaimanakah
perkembangan hak waris laki – laki dan perempuan dalam yurisprudensi yang
berlaku di Indonesia ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas,
tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui
bagaimana pembagian hak waris laki – laki dan perempuan dalam system KUH Perdata, system hukum adat dan sistem hukum Islam yang berlaku di Indonesia.
2. Untuk mengetahui
bagaimana perkembangan hak waris laki – laki dan perempuan dalam yurisprudensi yang berlaku di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. HUKUM WARIS DALAM SISTEM KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PERDATA
Penempatan hukum waris dalam KUHPerdata terdapat pada Pasal
528 dan Pasal 584 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Didalamnya
subjek hukum waris terbagi 2 (dua) yaitu : Perwaris, adalah orang yang
meninggalkan harta dan diduga meninggal dengan meninggalkan harta. Ahli waris,
yakni mereka yang sudah lahir pada saat warisan terbuka, hal ini berdasarkan
Pasal 836 KUHPerdata.
Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak
dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang
dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Dalam hukum waris berlaku
juga suatu asas, bahwa apabila seorang meninggal, maka seketika itu juga segala
hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya. Asas tersebut
tercantum dalam suatu pepatah Prancis yang berbunyi : “le mort saisit le
vif” sedangkan pengoperan segala hak dan kewajiban dari si meninggal oleh
para ahli waris dinamakan “saisine”.
B. HUKUM WARIS DALAM SISTEM
HUKUM ADAT
Menurut Bertrand Ter Haar, Hukum waris adat adalah proses
penerusan dan peralihan kekayaan materil dan immaterial dari turunan ke
turunan.
Menurut Soepomo, Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan
yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan
barang-barang yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada
keturunannya.
Proses pewarisan menurut hukum waris adat, dikala pewaris
masih hidup dapat berjalan dengan cara penerusan atau pengalihan, penunjukan
atau dengan cara berpesan, berwasiat, beramanat. Ketika pewaris telah wafat
berlaku penguasaan yang dilakukan oleh anak tertentu, oleh anggota keluarga
atau kepala kerabat, sedangkan cara pembagian dapat berlaku pembagian
ditangguhkan. Hukum waris adat tidak mengenal cara pembagian dengan perhitungan
matematika, tetapi didasarkan atas pertimbangan mengingat wujud benda dan
kebutuhan waris bersangkutan.
C. HUKUM WARIS DALAM SISTEM
HUKUM ISLAM
Hukum waris Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu
yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta kekayaan seseorang
setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.
Didalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 (a) menyatakan bahwa
hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan
harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi
ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
BAB III
HAK WARIS ANAK LAKI-LAKI DAN ANAK PEREMPUAN
A. HAK WARIS ANAK LAKI-LAKI DAN ANAK
PEREMPUAN MENURUT BW
Besaran bagian para ahli waris berdasarkan KUHPerdata, dalam
hal ini mengenai besaran ahli waris laki-laki dengan ahli waris perempuan,
memiliki bagian sama antara anak laki-aki dengan anak perempuan sesuai dengan
ketentuan Pasal 852 ayat (1) KUHPerdata yang menjelaskan sebagai berikut:
“Anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan
dari lain-lain perkawinan sekali pun, mewaris dari kedua orang tua, kakek,
nenek, atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke
atas, dengan tiada perbedaan antara laki atau perempuan dan tiada perbedaan
berdasarkan kelahiran lebih dulu.”
Hukum waris Barat (KUHPerdata) mengenal prinsip legitime
portie (bagian mutlak) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 913 KUHPerdata yang
menentukan bahwa:
“Legitime portie adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus
diberikan kepada para waris dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap
bagian mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku
pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat.”
Prinsip legitime portie menentukan bahwa ahli waris memiliki
bagian mutlak dari peninggalan yang tidak dapat dikurangi sekalipun melalui
surat wasiat si pewaris.
B. HAK WARIS ANAK LAKI-LAKI DAN
ANAK PEREMPUAN MENURUT SISTEM HUKUM ADAT
Berdasarkan sistem patrilineal,matrilineal dan parental.
1. Sistem
Patrilineal/Kebapakan
Sistem patrilineal merupakan sistem keturunan yang ditarik
dari garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari
kedudukan wanita didalam pewarisan.
Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki sebab anak
perempuan yang telah kawin masuk menjadi anggota keluarga suami Patrilineal
terdapat di daerah adat orang Batak, Bali dan Ambon.
CIRI-CIRI:
a.Kesatuan
kemasyarakatan yang organisasinya didasarkan atas ketunggalan silsilah pancar
laki-laki (kebapakan).
b. Anggota dan penerus silsilah
adalah anak laki-laki
c. Anak perempuan
akan pergi meningalkan marganya
d. Kehidupan
masyarakatnya ditopang oleh harta pusaka
e. Pada awalnya
tidak ada harta pencarian atau harta bersama, baru kemudian berkembang harta
pencarian yang menjadi embrio harta bersama
f. Harta tersebut
kepemilikannya individual dan terlepas dari harta pusaka, dan akhirnya dapat
diwaris oleh anak perempuan
Putusan MA No.179/K/Sip/1961
Anak perempuan dan laki-laki dari seorang peninggal warisan
bersama-sama berhak terhadap harta warisan, dengan arti bagian laki-laki dan
perempuan adalah sama.
2. Sistem Matrilineal/Keibuan
Sistem Matrilineal adalah sistem kekerabatan yang
berdasarkan pertalian keturunan melalui keibuan yang menarikgaris keturunannya
dari pihak ibu terus ke atas. Matrilineal terdapat di daerah adat orang
Minangkabau, orang Kerinci dan Semendo.
Yang menjadi ahli waris adalah anak-anak dari garis
perempuan/ibu karena mereka merupakan bagian dari keluarga ibunya sedangkan
ayahnya masih merupakan anggota keluarga sendiri.
CIRI-CIRI:
a. Kesatuan kemasyarakatan yang
organisasinya didasarkan atas ketungalan silsilah pancar perempuan (Buah
Paruik à buah perut) à Clan chaniago dan piliang
(minangkabau)
b. Anak-anak perempuan sebagai
penerus silsilah kaum ibunya
c. Kehidupannya berada dalam sebuah
rumah gadang (besar) dengan sistem bilik), dan ditopang oleh harta kaum
d. Kemudian berkembang menjadi
masayakat minang yang hidup di minang dan di luar minang, dan yang diminang ada
yang masih terikat pada rumah gadang dan sudah ada yang hidup dalam rumah-rumah tinggal.
e. Kemudian berkembang harta
pencarian (“Suarang”) àmenjadi dasar terbentuknya harta bersama. Anak- anak
semula tidak mewaris dari bapak kemudian mewaris dari harta suarang bapaknya.
3. Sistem Parental/Kebapak-Ibuan
Sistem Parental adalah sistem kekerabatan yang berdasarkan
pertalian keturunan melalui ayah dan ibu yang menarik garis keturunanya melalui
pihak ayah dan ibu ke atas. Terdapat di daeah adat Aceh, Jawa, Dayak dan
Kaili.
Yang menjadi ahli waris adalah anak laki dan perempuan
dengan kedudukan yangg sama dan sejajar.
CIRI-CIRI:
a. Kesatuan kemasyarakatan yang
organisasinya didasarkan atas ketunggalan silsilah bapak dan ibu.
b. Seorang individu selalu memiliki 2
silsilah, dari bapaknya dan dari ibunya.
c. Anak-anak selalu menjadi penerus
silsilah bapak dan ibunya
d. Suami dan istri berkedudukan
seimbang, sehingga masing-masing memiliki kecakapan bertindak dan memiliki hak
kepemilikan
e. Anak-anak selalu menjadi ahli
waris terhadap harta peninggalan bapak dan ibunya.
Pemerintah mengarahkan pada sistem waris Parental dengan
mengeluarkan:
1. Tap MPRS II Tahun 1960
Paragrah 402 C sub 4
Semua warisan untuk anak-anak dan janda, apabila yang
meninggal meninggalkan anak dan isteri.
2. Seminar-seminar
Nasional Hukum Adat
a. Seminar Nasional
Tahun 1963
Hakim membimbing hukum tidak tertulis melalui yurisprudensi
kea rah keseragaman hukum yang seluas- luasnya dan dalam bidang hukunm keluarga
kea rah system parental
b. Seminar Hukum Adat
Tahun 1975
Hendaklah hukum adat kekeluargaan dan warisan lebih
dikembangkan kea rah hukum yang bilateral/parental yang memberi kedudukan yang
sederajat.
3. UU Perkara_Pasal 31
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kewajiban suami dalam berkeluarga dan bermasyarakat. Masing-masing pihak berhak
melakukan perbuatan hukum.
4. Putusan MA atau
Yurisprudensi
Hak anak laki-laki sama dengan hak anak perempuan.
MA melihat rasa kemanusiaan dan keadilan umum.
Pada umumnya di Indonesia apabila pewaris wafat meninggalkan
istri dan anak-anak, maka harta warisan, terutama harta bersama suami istri
yang didapat sebagai harta pencaharian selama perkawinan dapat dikuasai oleh
janda almarhum pewaris untuk kepentingan berkelanjutan hidup
anak-anak dan janda yang ditinggalkan.
Pada intinya, dalam sistem patrilineal, matrilineal, dan
parental hampir sama, yaitu janda bisa menjadi penguasa harta warisan suaminya
yang telah wafat. Disini janda memang bukan merupakan ahli waris, karna sudah
ada pembagian yang sudah diatur dalam sistem tersebut. Janda hanya memiliki hak
untuk menguasai dan menikmati harta warisan selama hidupnya. Akan tetapi,
apabila janda tersebut sudah tua dan anak-anaknya sudah dewasa dan sudah
berumah tangga, maka harta tersebut akan dialihkan kepada anak-anaknya.
Hukum waris adat tidak mengenal azas Legitieme Portie, maka
pembagiannya adalah:
a. Dalam Sistem
Patrilineal
Istri sebagai pewaris: tidak ada ahli waris.
Suami sebagai pewaris: ahli warisnya anak laki-laki, tetapi
pada daerah tertentu yang ahli warisnya adalah anak tertua
b. Dalam Sistem
Matrilineal
Istri sebagai pewaris: ahli warisnya anak perempuan
Suami sebagai pewaris: ahli warisnya saudara perempuan suami
c. Dalam Sistem
Parental
Istri sebagai pewaris: ahli warisnya anak laki-laki dan anak
perempuan
Suami sebagai pewaris: ahli warisnya anak laki-laki dan anak perempuan
Pengkhususan
Untuk daerah Gresik, Madura, Tuban apabila yang menjadi pewaris istri atau
suami, maka ahli warisnya anak laki-laki :
anak perempuan = 2:1
Untuk daerah Sidoarjo dan Malang, ahli warisnya anak laki-laki : anak perempuan
= 1:1
Untuk daerah Jawa apabila yang menjadi pewaris suami, maka yang menjadi ahli
waris adalah anak laki-laki, dan apabila yang menjadi ahli waris istri, maka
yang menjadi ahli waris adalah
anak perempuan.
C. HAK WARIS ANAK LAKI-LAKI DAN
ANAK PEREMPUAN MENURUT SISTEM HUKUM ISLAM
Dalam surat An-Nisa’ ayat 11-12 disebutkan mengenai Hukum
Waris Islam antara lain sebagai suatu hukum yang mengatur pembagian
harta peninggalan seseorang yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis.
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang [pembagian pusaka
untuk] anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian
dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan
itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang
ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya [saja], maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. [Pembagian-pembagian tersebut di atas] sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau [dan] sesudah dibayar hutangnya. [Tentang] orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
[banyak] manfa’atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan bagimu [suami-suami]
seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka
buat atau [dan] sesudah dibayar hutangnya.
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau dan sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki seibu saja atau
seorang saudara perempuan seibu saja maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat kepada ahli waris . Allah menetapkan yang demikian itu sebagai
syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun”.
Dalam hukum waris Islam, pada prinsipnya pembagian terhadap
anak laki-laki lebih besar dari anak perempuan. Hal ini berdasarkan ketentuan
dalam Pasal 176 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan sebagai berikut : “Anak
perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau
lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak
perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah
dua berbanding satu dengan anak perempuan.”
Namun demikian, sesuai dengan Pasal 201 Kompilasi Hukum
Islam yang menyatakan bahwa:
“Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan, sedangkan ahli waris
lainnya ada yang tidak menyetujuinya, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai
batas sepertiga harta warisan.”
Terhadap setiap pemberian atau penghibahan yang
mengakibatkan berkurangnya bagian mutlak dalam pewarisan, dapat dilakukan
pengurangan hanya berdasarkan tuntutan dari ahli waris ataupun pengganti
mereka.
D. HAK WARIS ANAK LAKI-LAKI DAN ANAK
PEREMPUAN MENURUT YURISPRUDENSI DAN PERKEMBANGANNYA
1. Yurisprudensi Yang Menunjukkan
Anak Laki-Laki Mendapatkan Bagian Waris Lebih Besar Dari Anak Perempuan.
Terdapat beberapa yurisprudensi yang mengabulkan atau menyetujui bahwa dalam keadaan atau kondisis masyarakat tertentu dapat dibedakan kedudukan antara anak laki-laki dan anak perempuan, diantaranya :
a. Putusan Mahkamah Agung
No. 24 K/Sip/1953 tanggal 14 April 1956
Hukum Adat daerah Praya, Lombok
Pembagian warisan antara janda, anak laki-laki dan anak
perempuan
Menurut Hukum Adat Sasak di Lombok, dalam hal seorang
meninggal dengan meninggalkan seorang janda, tiga anak laki-laki dan enam anak
perempuan;
Janda tersebut berhak atas sepertiga bagian dari barang
gono-gini ditambah seperdelapan dari sisanya. Sisanya dibagi antara anak-anak
dengan imbangan anak laki-laki mendapat dua kali anak perempuan.
b. Putusan Mahkamah Agung
No. 200 K/Sip/1958 tanggal 3 Desember 1958.
Hukum Adat di daerah Negara
Menurut hukum adat Bali, yang berhak mewarisi hanyalah
keturunan pria dari pihak keluarga pria dan anak angkat lelaki.
Duduk perkara:
I Gendra cs. Menggugat Pan Gari cs. Dimuka Pengadilan Kerta
di Negara pada pokoknya ats dalil, bahwa sawah sengketa adalah asal pusaka
mendiang Pan Sarning, yang ditandukan kepada para tergugat, akan tetapi setelah
San Parning meninggal dunia, sawah itu dipertahankan oleh para tergugat, maka
oleh karena demikian para penggugat menuntut supaya para tergugat dihukum untuk
mengembalikan sawah tersebut kepada para penggugat.
Pengadilan Kerta di Negara dengan putusannya tanggal 28 Juni
1951 No. 8/Sipil/1951 mengabulkan gugatan penggugat I Gendra cs. dan menghukum
tergugat Pan Gari cs. untuk menyerahkan kepada penggugat satu sikut sawah yang
menjadi sengketa beserta separo hasil sawah itu dalam tahun 1951.
Putusan tersebut dalam tingkat banding wajib, dikuatkan oleh
Pengadilan Tinggi Makassar (Ujungpandang) tanggal 30 Desember 1957 No. 19/1953
P.S./Pdt.
c. Jawaban
penggugat kasasi pada waktu mereka diperiksa dimuka siding Pengadilan Kerta
bahwa mereka menandu sawah adalah keliru. Sebenarnya, mereka mempertahankan
sawah itu, karena mereka merasa berhak mewarisi sawah tersebut karena datuk
mereka Men Sardji dan Men Mukti bersaudara kandung kepada mendiang Paan
Sarning. Pan Sarning yang meninggal tanpa memiliki anak kandung tetapi mempunyai keponakan dari saudaranya yakni Men Sardji dan Men Mukti maka mereka
sama-sama berhak menerima barang-barang warisan mendiang Pan Sarning. Dengan
kata lain, barang-barang warisan Pan Sarning harus dibagi dua antara mereka dan
I Gendra cs.
d. Menurut hukum adat
Bali pun, kalau orang yang meninggal (ceput) tidak mempunyai ahliwaris dari keturunan lelaki, barang warisannya harus diwarisi oleh anak perempuannya yang
paling rapat, sehingga tanah-tanah warisan mendiang Pan Sarning separonya atau
setidak-tidaknya sawah cidra ditetapkan menjadi milik para penggugat untuk
kasasi merupakan hal yang tepat.
Keberatan-keberatan tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung,
dengan pertimbangan-pertimbangan:
Mengenai keberatan sub.a:
Bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan oleh karena baru
dalam tingkat kasasi, para penggugat untuk kasasi mengajukan keberatan ini
dengan mandalilkan, bahwa mereka berhak untuk mewarisi sawah sengketa, jadi
keberatan itu merupakan suatu persoalan yang baru (novum), hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi;
Mengenai keberatan sub.b:
Bahwa keberatan ini pula tidak dapat dibenarkan, oleh karena
menurut hukum adat Bali yang berhak mewarisi sebagai ahliwaris ialah hanya
keturunan pria dari pihak keluarga dan anak angkat lelaki, sehingga Men Sardji
sebagai saudara kandung perempuan bukan ahliwaris dari mendiang Pan Sarning.
Perkembangan hak waris anak laki-laki dan anak perempuan
menurut hukum Adat Bali
Menurut I Ketut Sudantra, dosen Hukum Adat pada
Fakultas Hukum Universitas Udayana, dalam artikel berjudul Pembaharuan
Hukum Adat Bali Mengenai Pewarisan Angin Segar Bagi Perempuan, hukum adat Bali yang bersistem kekeluargaan kapurusa (patrilineal) menempatkan anak
laki-laki sebagai ahli waris dalam keluarga, sementara perempuan hanya
mempunyai hak untuk menikmati harta peninggalan orang tua atau harta
peninggalan suami.
Hal di atas juga tercermin dalam putusan Mahkamah Agung
No. 200 K/Sip/1958 tanggal 3 Desember 1958, yang antara lain menyatakan:
“Menurut hukum Adat Bali yang berhak mewaris hanyalah
keturunan pria dan pihak keluarga pria dan anak angkat lelaki; Maka Men Sardji
sebagai saudara perempuan bukanlah akhli waris dan mendiang Pan Sarning.”
2. Yurisprudensi
Yang Menunjukkan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mendapatkam Bagian Waris
Yang Sama
a. Putusan MA RI no.179
K/SIP/1961 tanggal 23 Oktober 1961
Menyatakan persamaan hak anak laki-laki dan anak perempuan
yang mengakibatkan perubahan dalam hukum waris adat Batak Karo. Yang pada
mulanya masyarakat adat tersebut memang membedakan kedudukan anak laki-laki dan
anak perempuan yakni, dengan mengutamakan anak laki-laki sebagai ahli waris.
Terkhusus pada yurisprudensi ini telah mendapat banyak
sorotan karena menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat adat Batak
Karo itu sendiri, terlebih oleh kaum laki-laki yang merasa telah dilanggar haknya.
Ini menunjukkan adanya perkembangan dalam kondisi masyarakat
yang terkadang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan dalam kaidah hukum yang
berlaku dalam masyarakat, yakni hukum adat. Karena sejatinya putusan atau
yurisprudensi tersebut memiliki kekuatan hukum yang mau tidak mau harus
diterima oleh masyarakatnya, meski hukum nasional juga
memberikan kelonggaran atau suatu ruang bagi masyarakat adat itu
sendiri untuk berkembang sesuai dengan dinamika sosial yang ada.
b. Putusan Mahkamah Agung
No. 179/Sip/1961 tanggal 1 November 1961.
Anak perempuan dan anak lelaki dari seorang peninggal
warisan bersama berhak atas harta warisan dalam arti, bahwa bagian anak lelaki
adalah sama dengan anak perempuan.
Duduk perkara:
Langtewas Sitepu dan Ngadu Sitepu menggugat Benih Ginting,
anak kandung dari mendiang Rumbane boru Sitepu di muka Pengadilan Negeri
Kabanjahe pada pokoknya atas dalil, bahwa tanah sengketa bernama “Juma Pasar”
adalah tanah pusaka berasal dari Rolak Sitepu; bahwa oleh karena Rolak Sitepu tidak memiliki anak lelaki dan setelah Rolak Sitepu meninggal dunia, maka
menurut hukum adat Karo, tanah itu harus diwarisi oleh para penggugat sebagai
anak-anak lelaki dari saudara kandung almarhum Rolak Sitepu; bahwa menurut
putusan Balai Kerapatan (Raja Berempat) Kabanjahe tanggal 1 Maret 1929 No.69
anak-anak perempuan dari almarhum Rolak Sitepu tersebut hanya ada hak untuk
memakai tanah itu selama mereka hidup; bahwa setelah Rumbane yakni salah satu
anak perempuan dari Rolak Sitepu meninggal dunia lalu tanah itu dikuasai oleh
tergugat yakni anak lelaki dari almarhum Rumbane tersebut; bahwa berdasarkan
alasan-alasan tersebut para penggugat menuntut supaya Pengadilan Negeri
Kabanjahe member putusan:
1. Mengakui di dalam
hukum, bahwa lading perkara berasal dari pusaka mendiang Rolak Sitepu yang menurut adat Indonesia Karo diwarisi oleh para penggugat, sebab mendiang Rolak
Sitepu adalah saudara kandung dari Tindik Sitepu (ayah kandung para penggugat),
karena Rolak Sitepu telah mati masap (tidak ada keturunan anak laki-laki)
selain dari kedua penggugat;
2. Menentukan di dalam
hukum untuk menyudahi/memutuskan pemakaian tergugat atas lading sengketa dan menyerahkannya kepada para penggugat.
Pengadilan Negeri Kabanjahe dalam putusannya tanggal 8
September 1958 No. 3/S/1957 mengabulkan gugatan dan menghukum tergugat untuk
menyerahkan lading “Jumpa Pasar” kepada para penggugat.
Pengadilan Tinggi Medan, dalam tingkat banding, dengan
putusannya tanggal 29 Desember 1959 No. 204/1959 membatalkan putusan Pengadilan
Negeri dan dalam mengadili kembali menolak gugatan para penggugat.
Keberatan-keberatan yang diajukan dalam tingkat kasasi
adalah pada pokoknya:
“bahwa menurut hukum adat Karo anak perempuan (dimaksudkan
Rumbane, yaitu ibu tergugat) adalah bukan ahli waris dari ayahnya, dan bahwa
para penggugat kasasi menurut hukum adat Karo adalah ahliwaris dari Rolak
Sitepu dan berhak atas tanah sengketa setelah Rolak Sitepu meninggal dunia.”
Keberatan-keberatan tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung,
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
“bahwa keberatan-keberatan tersebut berdasarkan atas
anggapan bahwa di tanah Karo masih tetap berlaku hukum yang hidup, bahwa
seorang anak perempuan tidak berhak sama sekali atas barang warisan yang
ditinggalkan oleh orang tuanya”;
bahwa Mahkamah Agung berdasar selain atas rasa
perikemanusiaan dan keadilan umum juga atas hakekat persamaan hak antara wanita
dan pria, dalam beberapa putusan mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum
yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak lelaki dari
seorang peninggal warisan, bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti,
bahwa bagian anak lelaki adalah sama dengan anak perempuan;
bahwa berhubung dengan sikap yang tetap dari Mahkamah Agung
ini, maka juga di tanah Karo seorang anak perempuan harus dianggap sebagai
ahliwaris yang berhak menerima bagian atas harta warisan dari orang tuanya;
bahwa oleh karena demikian, keberatan-keberatan para
penggugat untuk kasasi tidak dapat dibenarkan dan putusan Pengadilan Tinggi
Medan, meskipun berdasarkan alasan-alasan lain, harus dipertahankan.”
Putusan Mahkamah Agung ini mendapat sambutan hangat dari
kaum wanita Tapanuli dan dapat dianggap sebagai suatu tonggak bersejarah dalam
proses pencapaian persamaan hak antara kaum wanita dan kaum pria. Dengan
putusan ini Mahkamah Agung telah membentuk hukum yurisprudensi baru dalam soal
warisan di Tapanuli.
c. Putusan Mahkamah
Agung No. 415 K/Sip/1970 tanggal 30 Juni 1971.
Hukum adat di daerah Padangsidempuan
Kedudukan anak (laki-laki dan perempuan) terhadap warisan
orang tua
Di daerah Tapanuli “pemberian dan penyerahan” kepada seorang
anak perempuan merupakan “serah- lepas” dengan maksud memperlunak hukum adat
setempat di masa sebelum Perang Dunia II yang tidak mengakui hak mewaris bagi
anak perempuan.
Hukum Adat di daerah Tapanuli kini telah berkembang ke arah
pemberian hak yang sama kepada anak perempuan dan anak laki-laki.
d. Putusan MA RI No.2563
K/Pdt/1988 tanggal 15 Maret 1990
Menyatakan bahwa hak waris anak dari istri pertama atas
harta bagian bapaknya yang diperoleh dalam perkawinannya yang ketiga. Anak dari
istri pertama berhak mewarisi harta bagian bapaknya yang diperoleh dalam
perkawinannya yang ketiga bersama-sama dengan anak dari istri ketiga yaitu
masing- masing mendapat separoh dari separoh karena anak almarhum hanya dua
orang, yaitu penggugat dan tergugat.
Meski keputusan tersebut tidak terkait dengan kedudukan anak
laki-laki dan perempuan sebagai ahli waris, melainkan lebih menjelaskan
kedudukan anak sebagai anak kandung dari orangtuanya yakni pewaris. Yang
menunjukkan bahwa terlepas dari apaka ahli waris yakni anaknya tersebut apakah
leki-laki maupan perempuan, dalam yurisprudensi tersebut telah menguatkan
kembali posisi penggugat sebagai anak kandung dari pewaris baik laki-laki
maupun perempuan, namun jika dihadapkan pada kondisi yang sama dengan yang ada
pada saat tersebut, maka kedudukan anak laki-laki dan perempuan adalah
sama. Sehingga putusan tersebut dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam
menghadapi kasus yang sama.
e. Putusan MA
No.410 K/Pdt/1995 tanggal 26 Agustus 1996
‘ Warisan yang berasal dari harta gono-gini haruslah dibagi
secara adil kepada semua ahli warisnya’
Putusan tersebut juga dapat mengakibatkan samanya kedudukan
anak laki-laki maupun perempuan dalam haknya atas harta gono-gini orangtuanya
sebagai pewaris.
f. Putusan
MA no.30 K/Pdt/1995 tanggal 9 Februari 1998
Amar putusan Pengadilan Tinggi Bandung yang membatalkan
putusan Pengadilan Negeri Karawang kurang lengkap/tepat sehingga memerlukan
pertimbangan , yaitu pada amar putusan Pengadilan Tinggi Bandung poin 5 ; bahwa
bagian masing-masing ahli waris laki-laki dan perempuan ditentukan sama
disesuaikan dengan tingkat keahliwarisan masing-masing dari almarhum Mungkur
bin Jamilin.
g. Putusan Mahkamah Agung No. 410 K/Pdt/1995 tanggal 26 Agustus 1996 .
g. Putusan Mahkamah Agung No. 410 K/Pdt/1995 tanggal 26 Agustus 1996 .
Warisan yang berasal dari harta gono-gini haruslah dibagi
secara adil kepada semua ahli warisnya.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
A. Pembagian
hak waris bagi anak laki-laki dan perempuan menurut KUHPerdata,Hukum Islam dan
Hukum Adat memiliki sistem yang berbeda-beda.
Berdasarkan KUHPerdata, pembagian waris menggunakan prinsip legitime portie (bagian mutlak) sebagaimana yang diatur dalam pasal 913 dimana Prinsip legitime portie menentukan bahwa ahli waris memiliki bagian mutlak dari peninggalan yang tidak dapat dikurangi sekalipun melalui surat wasiat si pewaris. Dalam hal ini, bagian mutlak bagi para ahli waris adalah tiga perempat dari harta warisan.
Berdasarkan KUHPerdata, pembagian waris menggunakan prinsip legitime portie (bagian mutlak) sebagaimana yang diatur dalam pasal 913 dimana Prinsip legitime portie menentukan bahwa ahli waris memiliki bagian mutlak dari peninggalan yang tidak dapat dikurangi sekalipun melalui surat wasiat si pewaris. Dalam hal ini, bagian mutlak bagi para ahli waris adalah tiga perempat dari harta warisan.
Dalam hukum waris Islam, pada prinsipnya pembagian terhadap
anak laki-laki lebih besar dari anak perempuan. Anak perempuan bila hanya
seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka
bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan
bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua
berbanding satu dengan anak perempuan. Namun demikian, apabila wasiat melebihi
sepertiga dari harta warisan, sedangkan ahli waris lainnya ada yang tidak
menyetujuinya, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga harta
warisan.
Dalam menentukan bagian-bagian tiap ahli waris, hukum waris
adat mendasarkan pada kebiasaan dalam bidang kewarisan yang terjadi di
masyarakat. Hal ini berarti tiap daerah memiliki cara kebiasaan yang berbeda
untuk menentukan besaran bagian warisan masing-masing dari ahli waris. Sebagai
contoh, pembagian besarnya warisan di daerah Sumatera Barat, hak (bagian)
warisan dari anak perempuan lebih besar dari bagian warisan dari anak
laki-laki, akan tetapi hal tersebut berbeda dengan kebiasaan yang terjadi di daerah
Sumatera Utara, yang memberikan hak dalam warisan lebih besar kepada anak
laki-laki jika dibandingkan dengan bagian anak perempuan.
B. Yurisprudensi
yang merupakan perkembangan hukum yang ada kaitannya dengan perubahan social. Yurisprudensi ini dapat menegaskan mengenai pembagian hak laki-laki dan
perempuan sesuai adat
mereka seperti yang terjadi di Praya, Lombok dengan keluarnya Putusan Mahkamah Agung No. 24 K/Sip/1953 tanggal 14 April 1956 danPutusan Mahkamah Agung No. 200 K/Sip/1958 tanggal 3 Desember 1958 di Bali.
mereka seperti yang terjadi di Praya, Lombok dengan keluarnya Putusan Mahkamah Agung No. 24 K/Sip/1953 tanggal 14 April 1956 danPutusan Mahkamah Agung No. 200 K/Sip/1958 tanggal 3 Desember 1958 di Bali.
Selain itu yurisprudensi juga dapat menyetarakan hak antara
laki-laki dan perempuan atau setidaknya memberikan perempuan hak-hak mereka.
Seperti Putusan Mahkamah Agung tanggal 1 November 1961 No. 179
K/Sip/1961 yang berbunyi : Mahkamah Agung menganggap sebagai hukum yang hidup
di seluruh Indonesia bahwa anak perempuan dan anak laki – laki dari seorang
pewaris bersama – sama berhak atas harta warisan, dalam arti bagian anak laki –
laki adalah sama dengan anak perempuan.
Dengan adanya yurisprudensi tersebut dikemudian hari, bila
terjadi sengketa warisan, pihak yang merasa dirugikan, terutama pihak
perempuan, dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri, dan penyelesaiannya
oleh hakim dapat merujuk pada yurisprudensi ini, yaitu pembagian hak waris yang
sama terhadap anak laki – laki dan perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar